Jumat, 07 Desember 2012


Resensi Buku
MENGUNGKAP TAFSIR DARI MASA KE MASA
Bersama
Dr. Abdul Mustaqim

IDENTITAS BUKU:
Judul Buku                  : Epistemologi Tafsir Kontemporer
Pengarang                   : Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit & Distributor : LKiS Group
Editor                          : Fuad Mustafid
Pemeriksa Aksara        : As’adullah al-Faruq
Rancang Sampul         : Haitami El-Jaid
Penata Isi                    : Santo
Tahun Terbit                : 2012
Cetakan                       : II
Tebal Buku                  : 366 halaman
Genre                          : Tafsir

ISI POKOK BUKU:
Buku ini merupakan tulisan Desertasi dari seorang Abdul Mustaqim, yaiutu unrtuk mrndapatkan gelar Dr. Buku yang berjudul Epistemologi Tafisr Kontemporer ini adalah hasil deskripsi dan analisa komperatif terhadap epistemologi penafsiran Fazrur Rahman dan Muhammad Syahrul melalui pendekatan histori-filosofis.
Berdasarkan kerangka teori the histori of Qur’anic interpretation yang diramu dari Ignas Goldziher, Jurgen Hbermas, dan Kuntowijoyo, pneulis menyimpulkan bahwa dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an telah terjadi pergeseran paradigma.
Pertama, era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis untuk tidak menyebutnya nalar mitis – yang terjadi pada era klasik. Pada era ini, Penasiran Al-Qur’an lebih banyak didominasi oleh model tafsir bi al-ma’tsur (riwayat) yang kental dengan nalar bayani. Nalar quasi kritis dan konteks ini adalah sebuah cara berfikir yang kurang mengedapankan kritisisme ketika menerima sebuah produk penafsiran. Pada waktu itu, nabi seolah “dimitoskan” menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran tafsir sehingga segala produk penafsirannya diterima begitu saja oleh para sahabat. Tidak pernah ada kritik dari sahabat tentang ayat yang ditafsirkan oleh nabi. Sementara pada masa sahabat, segala produk penafsiran Al-Qur’an yang tidak ada sumbernya dari nabi atau dari para sahabat yang pernah belajar tafsir  kepada nabi atau para sahabat yang pernah belajar tafsir kepada nabi tidak dianggap sebagai tafsir, tetapi hanya dianggap sebagai pendapat (ra’yi) sehingga harus dijauhi dan bahkan dianggap sbagai tabu. Sebab, pada waktu itu yang dianggap sebagai ilmu adalah periwayatan itu sendiri. Jadi, tafsir harus berdasarkan riwayat. Akalupun ada kritisisme tafsir hal itu biayasanya lebih ditekankan pada aspek sanad  periwayatannya. Era ini berkembang kurang lebih sampai generasi ketiga, yakni era pasca tabiin.
Kedua, era afirmatif yang berbasis pada nalar idiologis. Era ini terjadi pada Abad Pertengahan Islam. Kecendrungan tafsir era afirmatif pada awalnya berangkat dari ketidakpuasan  terhadap model tafsir bi ma’tsur  yang dipandang kurang ”memadai” dan tidak menafsirkan semua ayat Al-Qur’an. Sejak saat itu kemudian muncul tradisi tafsir bi ar-ra’yi (rasio atau akal). Akan tetapi, tradisi penafsiran pada era ini kemudian banyak didominasi oleh kepentingan-kepentingan idiologi (mazhab, politik penguasa, atau keilmuan tertentu) sehingga Al-Qur’an sering kali diperlukan hanya sebagai justifikasi bgai kepentingan idologi tersebut. Akibatnya, muncul sikap otoratianisme, fanatisme, dan sektarianismemazhab sehingga memunculkan sikap truth claim dan seling mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pada era ini, kritisisme dalam mengapresiasi sebauh produk tafsir dibangun atas dasar pelmbelaan idiologi. Tradisi tafkir (berfikir rasional) ini bahkan kemudian berubah menjadi tradisi takfir (mengkafirkan).
Ketiga, era reformatif yang berbasis pada kritis. Era ini muncul dari ketidakpuasan para mufassir modern-kontemporer terhadpa produk-produk penafsiran konvensional yang dinalai sebagai idiologi, otoriter, hegomonik, dan sektarian sehingga menyimpang dari umat manusia (hudan li an-nas). Atas dasar kenyataan ini, kemudian muncul berbagai kritik dari para mufassir era modern-kontemporer terhadap produk-produk tafsir konvensional tesebut. Ada asumsi kuat di kalangan mufassir  era reformatif yang menggunakan nalar kritis bahwa setiap bentuk dogmatisme penafsiran perlu dikritisi. Sebab, bentuk-bentuk pengetahuan, termasuk penafsiran, pada situasi tentu cenderung “berkuasa” dan menjadi juru tafsir satu-satunya yang dianggap benar atas realitas. Akibanya, ia cenderung otoriter dan menyingkirkan tafsir-tafsir lain yang dianggap menyimpang dari mainstream pemikiran yang umum. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur termasuk memberikan kritik revisi terhadap hasil penafsiran konvensional para ulama sebelumnya.
Dari pergeseran paradigma tafsir tersebut, tampak bahwa hakikat tafsir adalah sebuah produk dan proses manusia (mufassir)) dalam memahami Al-Qu’an, yang meniscayakan adanya dialektika antara wahyu, akal dan realitas (konteks). Dengan demikian, tafsir sebenarnya merupakan hasil interaksi antara teks yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas, melalui peranan akal mufassir sesuai dengan kadar kemampuannya.
Menurut Fazur Rahman dan Muhammad Syahrur, hakikat tafsir bisa dilihat dari dua persektif.
Pertama, tafsir sebagai produk, yang merupakan hasil interaksi dan dialektika antara teks, konteks (realitas) , dan penafsiran. Ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosio-histori, geopolitik, dan bahkan juga latar keilmuan serta “kepntingan” penafsirann sebagai sebuah produk budaya, tafsir tidak hanya boleh dikrtik, tetapi juga harus direkonstruksi jika memang tidak sesuai dengan tuntutan problem masyarakat kontemporer.
Kedua, tafsir sebagai proses. Ia merupakan proses aktivitas interpretasi teks dan realitas yang harus terus-menerus dilakukan, tanpa mengenal titik henti. Tafsir sebagai proses harus beroreintasi pada sebuah pencarian makna, bukan hasil sehingga segala bentuk otoritarianisme dan dogmatif penafsiran harus dikritik agar tidak terjadi monopoli kebenaran.
Adapaun dalam kaitanya dengan pemberian dan produksi makna yang merupakn  problem utama penfasiran, ada perbedaan antara Rahman dan Syahrur. Bagi Rahman, hakikat tafsir adlah bagaimana seorang Mufassir mampu menemukan makna ontntik (original meaning) dari sebuah teks melalui konteks sosio-histori masa lalu, dan kemudian menangkap aspek ideal moralnya untuk kemudian dikontekstualisasikan makna dengan era sekarang. Sementara bagi Syahrur, seorang mufassir tidak harus mencari dan menemukan makna ontentik Al-Qur’an di masa lalu, tetpai bisa saja dia langsung mencari makna teks yang relavan untuk era sekarang. Sebab, makna teks juga berkembang sesuai dengan nalar keilmuan.
Fazur Rahman dan Muhammad Syahrur memilki tolak ukur kebeneran tafsir yang relatif sama: pertama, bersifat koherensi, dalam arti bahwa tafsir bisa dikatakan benar sejauh ada konsistensi logis-filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya. Kedua, bersifat korespondensi, dalam arti bahwa produk penafsiran harus seuai dengan kenyataan empiris di lapangan. Kebenaran tidak hanya pada dataran idealis-metafisis, tetapi harus relitastis-empiris (seuai dengan teori ilmu penegtahuan, khususnya untuk hermeuneutika takwil Syahrur), ketiga, bersifat pragmatis, dalam arti bahwa produk penafsiran dianggap benar selagi secara fungsional dapat menjadi solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat manusia. Dengan demikian, jika produk tafsir tidak lagi mampu menjadi solusi atas problem yang dihadapi oleh umat manusia maka produk penafsiran tersebut boleh dinyatakan keliru sehingga perlu ditinjau ulang dan direvsi, ini berarti produk tafsir tidak hanya bersifat idealis-metafisis, tetapi juga harus realtas-empiris dan solutif terhadap problem-problem yang dihadapi masyarakat.   
KEUNGGULAN BUKU:
Buku yang berjudul Epistemologi tafsir Kontemporer karya Dr. Abdul Mustaqim ini sungguh berkualitas, karena dalam pembahasanya sistematis dan koheunentif. dan didalamnya  penulis juga mendeskripsikan dan menganalisis model-model penafsiran Al-Qur’an dari periode nabi sampai dengan Tabiin atau bahkan samapi saat ini, yang digagas oleh para pemikir-pemikir atau Mufassir- Mufassir kokntemporer. Dengan disertai komentar-komentar kritis terhadap pemikir eksegetika mereka pun turut mengiasi buku ini. Selain itu, teori-teori penafsiran barat juga mendapatkan tempat didalam analisisnya.
Saya merekomendasikan kepada para pembaca khususnya kepada para calon-calon mufassir untuk membeli dan mempelajari buku ini.

KELEMAHAN BUKU:
 Buku ini memeng luar biasa. Akan tetapi isi buku ini kurang aakan dalil-dalil sebagai penguat atau sebagai pegangan isi buku ini. Selain itu pula kertas yang kurang cocok dengan isi bukunya, maksudnya adalah kualitas kertasnya kurang bagus.

SARAN-SARAN UNTUK BUKU INI:
Terus kembangkan dan perbanyak karya-karya tentang tafsir dan terus kembangkankan isi buku sehingga patut untuk menjadi referensi-referenesi para pembaca teruata bagi calon mufassir. Dan lengkapilah dengan Dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits.

MANFAAT BUKU:
Buku ini sangat bagus untuk referensi para pembaca, bisa juga sebagai wawasan baru didunia ketafsiran. Karena didalamnya dibahas sejarah, tokoh dan karya-karyanya. Teruatam untuk para calon Mufassir kontemporer ini bisa sebagai langkah awal untuk menjadi seorang Mufassir kontemporer.
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar