Resensi Buku
MENGUNGKAP
TAFSIR DARI MASA KE MASA
Bersama
Dr.
Abdul Mustaqim
IDENTITAS BUKU:
Judul Buku : Epistemologi
Tafsir Kontemporer
Pengarang :
Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit & Distributor :
LKiS Group
Editor :
Fuad Mustafid
Pemeriksa Aksara :
As’adullah al-Faruq
Rancang Sampul :
Haitami El-Jaid
Penata Isi :
Santo
Tahun Terbit : 2012
Cetakan : II
Tebal Buku :
366 halaman
Genre :
Tafsir
ISI POKOK BUKU:
Buku
ini merupakan tulisan Desertasi dari seorang Abdul Mustaqim, yaiutu unrtuk
mrndapatkan gelar Dr. Buku yang berjudul Epistemologi Tafisr Kontemporer ini
adalah hasil deskripsi dan analisa komperatif terhadap epistemologi penafsiran
Fazrur Rahman dan Muhammad Syahrul melalui pendekatan histori-filosofis.
Berdasarkan
kerangka teori the histori of Qur’anic interpretation yang diramu dari
Ignas Goldziher, Jurgen Hbermas, dan Kuntowijoyo, pneulis menyimpulkan bahwa
dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an telah terjadi pergeseran paradigma.
Pertama, era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis untuk tidak
menyebutnya nalar mitis – yang terjadi pada era klasik. Pada era ini, Penasiran
Al-Qur’an lebih banyak didominasi oleh model tafsir bi al-ma’tsur (riwayat)
yang kental dengan nalar bayani. Nalar quasi kritis dan konteks ini
adalah sebuah cara berfikir yang kurang mengedapankan kritisisme ketika
menerima sebuah produk penafsiran. Pada waktu itu, nabi seolah “dimitoskan”
menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran tafsir sehingga segala produk
penafsirannya diterima begitu saja oleh para sahabat. Tidak pernah ada kritik
dari sahabat tentang ayat yang ditafsirkan oleh nabi. Sementara pada masa
sahabat, segala produk penafsiran Al-Qur’an yang tidak ada sumbernya dari nabi
atau dari para sahabat yang pernah belajar tafsir kepada nabi atau para sahabat yang pernah
belajar tafsir kepada nabi tidak dianggap sebagai tafsir, tetapi hanya dianggap
sebagai pendapat (ra’yi) sehingga harus dijauhi dan bahkan dianggap
sbagai tabu. Sebab, pada waktu itu yang dianggap sebagai ilmu adalah
periwayatan itu sendiri. Jadi, tafsir harus berdasarkan riwayat. Akalupun ada
kritisisme tafsir hal itu biayasanya lebih ditekankan pada aspek sanad periwayatannya. Era ini berkembang kurang lebih
sampai generasi ketiga, yakni era pasca tabiin.
Kedua, era afirmatif yang berbasis pada nalar idiologis. Era ini terjadi
pada Abad Pertengahan Islam. Kecendrungan tafsir era afirmatif pada awalnya
berangkat dari ketidakpuasan terhadap
model tafsir bi ma’tsur yang
dipandang kurang ”memadai” dan tidak menafsirkan semua ayat Al-Qur’an. Sejak
saat itu kemudian muncul tradisi tafsir bi ar-ra’yi (rasio atau akal).
Akan tetapi, tradisi penafsiran pada era ini kemudian banyak didominasi oleh
kepentingan-kepentingan idiologi (mazhab, politik penguasa, atau keilmuan
tertentu) sehingga Al-Qur’an sering kali diperlukan hanya sebagai justifikasi
bgai kepentingan idologi tersebut. Akibatnya, muncul sikap otoratianisme,
fanatisme, dan sektarianismemazhab sehingga memunculkan sikap truth claim
dan seling mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pada era ini, kritisisme
dalam mengapresiasi sebauh produk tafsir dibangun atas dasar pelmbelaan
idiologi. Tradisi tafkir (berfikir rasional) ini bahkan kemudian berubah
menjadi tradisi takfir (mengkafirkan).
Ketiga,
era reformatif yang berbasis pada kritis. Era ini muncul dari
ketidakpuasan para mufassir modern-kontemporer terhadpa produk-produk
penafsiran konvensional yang dinalai sebagai idiologi, otoriter, hegomonik, dan
sektarian sehingga menyimpang dari umat manusia (hudan li an-nas). Atas
dasar kenyataan ini, kemudian muncul berbagai kritik dari para mufassir
era modern-kontemporer terhadap produk-produk tafsir konvensional tesebut. Ada
asumsi kuat di kalangan mufassir era reformatif yang menggunakan nalar kritis
bahwa setiap bentuk dogmatisme penafsiran perlu dikritisi. Sebab, bentuk-bentuk
pengetahuan, termasuk penafsiran, pada situasi tentu cenderung “berkuasa” dan
menjadi juru tafsir satu-satunya yang dianggap benar atas realitas. Akibanya,
ia cenderung otoriter dan menyingkirkan tafsir-tafsir lain yang dianggap
menyimpang dari mainstream pemikiran yang umum. Dalam konteks ini,
Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur termasuk memberikan kritik revisi terhadap
hasil penafsiran konvensional para ulama sebelumnya.
Dari
pergeseran paradigma tafsir tersebut, tampak bahwa hakikat tafsir adalah sebuah
produk dan proses manusia (mufassir)) dalam memahami Al-Qu’an, yang
meniscayakan adanya dialektika antara wahyu, akal dan realitas (konteks).
Dengan demikian, tafsir sebenarnya merupakan hasil interaksi antara teks yang
terbatas dengan konteks yang tak terbatas, melalui peranan akal mufassir sesuai
dengan kadar kemampuannya.
Menurut
Fazur Rahman dan Muhammad Syahrur, hakikat tafsir bisa dilihat dari dua
persektif.
Pertama, tafsir sebagai produk, yang merupakan hasil interaksi dan
dialektika antara teks, konteks (realitas) , dan penafsiran. Ia dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi sosio-histori, geopolitik, dan bahkan juga latar
keilmuan serta “kepntingan” penafsirann sebagai sebuah produk budaya, tafsir
tidak hanya boleh dikrtik, tetapi juga harus direkonstruksi jika memang tidak
sesuai dengan tuntutan problem masyarakat kontemporer.
Kedua, tafsir sebagai proses. Ia merupakan proses aktivitas interpretasi
teks dan realitas yang harus terus-menerus dilakukan, tanpa mengenal titik
henti. Tafsir sebagai proses harus beroreintasi pada sebuah pencarian makna,
bukan hasil sehingga segala bentuk otoritarianisme dan dogmatif penafsiran
harus dikritik agar tidak terjadi monopoli kebenaran.
Adapaun
dalam kaitanya dengan pemberian dan produksi makna yang merupakn problem utama penfasiran, ada perbedaan
antara Rahman dan Syahrur. Bagi Rahman, hakikat tafsir adlah bagaimana seorang Mufassir
mampu menemukan makna ontntik (original meaning) dari sebuah teks melalui
konteks sosio-histori masa lalu, dan kemudian menangkap aspek ideal moralnya
untuk kemudian dikontekstualisasikan makna dengan era sekarang. Sementara bagi
Syahrur, seorang mufassir tidak harus mencari dan menemukan makna
ontentik Al-Qur’an di masa lalu, tetpai bisa saja dia langsung mencari makna
teks yang relavan untuk era sekarang. Sebab, makna teks juga berkembang sesuai
dengan nalar keilmuan.
Fazur
Rahman dan Muhammad Syahrur memilki tolak ukur kebeneran tafsir yang relatif
sama: pertama, bersifat koherensi, dalam arti bahwa tafsir bisa
dikatakan benar sejauh ada konsistensi logis-filosofis antara
proposisi-proposisi yang dinyatakannya. Kedua, bersifat korespondensi,
dalam arti bahwa produk penafsiran harus seuai dengan kenyataan empiris di
lapangan. Kebenaran tidak hanya pada dataran idealis-metafisis, tetapi harus
relitastis-empiris (seuai dengan teori ilmu penegtahuan, khususnya untuk
hermeuneutika takwil Syahrur), ketiga, bersifat pragmatis, dalam arti
bahwa produk penafsiran dianggap benar selagi secara fungsional dapat menjadi
solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat manusia. Dengan
demikian, jika produk tafsir tidak lagi mampu menjadi solusi atas problem yang
dihadapi oleh umat manusia maka produk penafsiran tersebut boleh dinyatakan
keliru sehingga perlu ditinjau ulang dan direvsi, ini berarti produk tafsir
tidak hanya bersifat idealis-metafisis, tetapi juga harus realtas-empiris dan
solutif terhadap problem-problem yang dihadapi masyarakat.
KEUNGGULAN
BUKU:
Buku
yang berjudul Epistemologi tafsir Kontemporer karya Dr. Abdul Mustaqim ini
sungguh berkualitas, karena dalam pembahasanya sistematis dan koheunentif. dan
didalamnya penulis juga mendeskripsikan
dan menganalisis model-model penafsiran Al-Qur’an dari periode nabi sampai
dengan Tabiin atau bahkan samapi saat ini, yang digagas oleh para
pemikir-pemikir atau Mufassir- Mufassir kokntemporer. Dengan disertai
komentar-komentar kritis terhadap pemikir eksegetika mereka pun turut mengiasi
buku ini. Selain itu, teori-teori penafsiran barat juga mendapatkan tempat
didalam analisisnya.
Saya
merekomendasikan kepada para pembaca khususnya kepada para calon-calon mufassir
untuk membeli dan mempelajari buku ini.
KELEMAHAN BUKU:
Buku ini memeng luar biasa. Akan tetapi isi
buku ini kurang aakan dalil-dalil sebagai penguat atau sebagai pegangan isi
buku ini. Selain itu pula kertas yang kurang cocok dengan isi bukunya,
maksudnya adalah kualitas kertasnya kurang bagus.
SARAN-SARAN UNTUK BUKU INI:
Terus
kembangkan dan perbanyak karya-karya tentang tafsir dan terus kembangkankan isi
buku sehingga patut untuk menjadi referensi-referenesi para pembaca teruata
bagi calon mufassir. Dan lengkapilah dengan Dalil-dalil Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
MANFAAT BUKU:
Buku
ini sangat bagus untuk referensi para pembaca, bisa juga sebagai wawasan baru
didunia ketafsiran. Karena didalamnya dibahas sejarah, tokoh dan
karya-karyanya. Teruatam untuk para calon Mufassir kontemporer ini bisa
sebagai langkah awal untuk menjadi seorang Mufassir kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar